Dalam dunia saat ini, sepertinya hidup kita tidak akan
terlepas dari yang namanya ekonomi konvensional. Walaupun Negara kita mayoritas
muslim, sistem ekonomi kita masih menggunakan sistem ekonomi konvensional yang
identik dengan riba. Hal ini pun tidak bisa kita hindari dalam hidup kita.
Hidup dalam sistem ekonomi yang bersistem riba.Untuk itu, kita sebagai umat
muslim selayaknya sadar akan sistem tersebut. Memang, merubah sistem ekonomi di
dalam diri kita sedikit susah.Tetapi apabila kita bersungguh – sungguh untuk
menciptakan sistem ekonomi yang berbasis syari’ah. Butuh keberanian, kekuatan,
dan kecerdikan dalam merubah sistem ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi
syari’ah.
Pengertian riba itu sendiri menurut bahasa yaitu membungakan
harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain. Sedangkan menurut Syaikh Muhammad
Abduh berpandapat bahwa yang dimaksud riba adalah penambahan – penambahan yang
diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya
( uangnya ), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjaman dari waktu
yang ditentukan. Sangan banyak kerugian yang disebabkan dengan adanya riba.
Riba membuat orang malas untuk berusaha. Karena apabila riba sudah mendarah
daging kepada seseorang tersebut, ia akan memilih usaha ternak uang. Karena
ternak uang tidak memiliki usaha yang begitu keras untuk menjadi kaya. Misalnya
saja apabila dia memiliki uang Rp 1.000.000, ia akan memilih uangnya untuk
disimpan di bank dari pada di investasikan untuk membuat usaha. Karena dengan
disimpan di bank, ia akan menerima bunga 2% dalam setiap bulannya. Dalam hal
ini, islam mengharamkan dalam perbuatannya. Karena ia membuat dirinya bermalas
– malasan dan tidak mau berusaha.
B. Harapan
Masyarakat Kepada Bank – Bank Syari’ah
Dalam sebagian orang bank sudah merupakan hal yang dianggap
penting dalam diri mereka karena bank tempat menyimpan harta yang aman,
mempertemukan pemodal, dan membantu pelancaran transakasi keuangan dan urusan
bisnis. Hampir tidak ada orang yang memanfaatkan peranan dari bank. Akan
tetapi, banyaknya peranan yang dimiliki bank tersebut, ternyata perbankan juga mendatangkan
setupuk masalah. Mulai dari krisis ekonomi yang masih melanda hamper di seluruh
negri, status kehalalan berbagai transaksi dan ketidak adilan dari sistem
ekonomi tersebut. Untuk itu, derasnya desakan dari masyarakat, berbagai pakar –
pakar ekonomi berupaya menjawab harapan masyarakat yang mana masalah dari
peranan perbankan tersebut bisa diatasi. Dan harapan itu pun dijawab oleh pakar
– pakar ekonomi dengan banyaknya bermunculan bank – bank yang berbasis syari’at
atau yang berlandaskan agama. Dan kehadiran perbankan yang benar – benar
,penerapkan kaidah syari’at islam sangat dinantikan masyarakat muslim pada
umumnya. Karena sudah lama masyarakat muslim terjebak dalam belenggu ekonomi
konvensional yang berbasis ribawi.Dan langkah – langkah awal pun mulai
diterapkan dalam perbankan islam. Akan tetapi, perjalanan sangat panjang dalam
menguasai ekonimi islam yang mendunia, suksesnya perbankan islam pun untuk
menguasai ekonomi dunia juga dibutuhkan partisipasi masyarakat muslim pada
umunya. Tanpa peran masyarakat, perbankan islam tidak akan tumbuh berkembang
menjadi ekonomi yang mendunia, ekonomi islam mungkin hanyalah angin saja
apabila kita tidak mendukung penuh dalam kegiatan ekonomi islam.
Kehadiran perbankan syaria’h yang benar – benar menerapkan kaidah
– kaidah islam menjadi harapan atau tumpuan baru bagi kelangsungan hidup umat
islam. Mulai dari pemodal yang mendapatkan perlindungan maksimal atas modalnya,
pelaku – pelaku usaha mendapatkan layanan yang professional dan adil, kedua
belah pihak mendapatkan keuntungan yang sama dan menjalankan tanggung jawab
yang sebanding. Tentunya bank – bank islam tidak hanya berlabelkan islam,tetapi
mampu menjawab tuntutan masyarakat muslim akan ekonomi yang sesuai dengan
agama.
C. Masih Adakah Riba Dalam Perbankan Syari’ah
Dalam hal ini. Apakah bank – bank islam sudah sesuai
mempraktikan sesuai dengan syariat agama islam. Apakah hanya label nya saja
yang islam, tetapi dibalik semua itu mereka masih menggunakan ekonomi riba.
Secara praktik, antara bank konvemsional dan bank syariah sama saja. Kalau di
bank konvensional kita mengenal bunga, di bank syariah juga kita mengenal yang
namanya bunga, tetapi bukan bunga namanya melainkan margin. Sistem antara bank
konvensional sama saja dengan bank syariah hanya saja namanya saja yang mereka
buat. Dan dari istilah – istilah perbankan srariah sama saja dengan
konvensioanal. Untuk itu, nilailah sesuatu itu pada hakikatnya bukan pada
istilah nya. Walaupun nama istilah tersebut sudah syar’i, tapi belum tebtu
hakikatnya syar’i. Karena tidak semua nama yang menunjukkan syar’i itu
mengandung kebenaran.
D.
Sebab – Sebab Terjadinya Riba
Riba sendiri terjadi karena ada sebab – sebabnya. Sebab –
sebab terjadinya riba antara lain :
1) Karena Allah dan rasulnya melarang
atau mengharamkan riba. Firman Allah SWT yang artinya :
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.
2) Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain
dengan tidak ada imbangnya, seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp 10000,-
dengan uang recehan senilai Rp 9950,- maka uang senilai Rp 50,- tidak ada
imbangnya, maka uang senilai Rp 50,- adalah riba.
3) dengan melakukan riba seseorang tersebut akan menjadi
malas berusaha. Bila riba sudah mendarah daging bagi oarng tersebut, maka orang
tersebut lebih suka berternak uang.
4) Riba menyebabkan putusnya perbuatan berbuat baik terhadap
sesama manusia dengan cara uang piutang atau menghilangkan faidah utang
piutang, maka riba lebih cenderung memeras orang miskin dari pada menolong
orang miskin. ( Hendi Suhendi, 2002:2)
Banyak sekali didalam Al –Qur’an dan hadits nabi yang
menerangkan tentang riba dan ancaman dalam memakan riba. Dengan demikian,
tergantung kita nya. Sangat sulit untuk kita, apabila menghindar dari yang
namanya riba. Apalagi kita masih berhubungan dengan perbankan. Perbankan
syari’ah pun dalam praktiknya masih menggunakan yang namanya riba. Sekarang
tergantung kitanya, kita menggunakan bank seperti apa. Jika kita niat
mengggunakan bank untuk tidak membungakan uang, maka InsyAllah kita akan
terhindar dalam yang namanya riba. Sekecil apapun uang yang kita peroleh dari
hasil riba, maka itu dilarang dengan syari’at agama kita. Seperti contoh yang
kita lihat nomor 2, jika uang yang kita tukarkan dengan tidak seimbang,
walaupun nominal angkanya kecil, itu sudah dianggap riba. Tetapi, apabila orang
yang kita tukarkan uangnya, ikhlas untuk menerima kekurangan uang kita, maka
itu tidak dianggap riba. Karena pihak yang ditukar ikhlas. Tetapi, jika
orangnya tidak ikhlas, maka kita telah menerima uang hasil riba.
Dan terkadang, riba pun dimanfaatkan dengan sebagian orang
untuk berternak uang. Mereka yang bereternak uang, karena mereka sangat malas
untuk bekerja atau berusaha. Hal ini dikarenakan karena kemalasan sudah
mendarah daging di tubuhnya. Mungkin dari kecil dia sudah di didik dengan semua
yang serba instan. Apabila mulai dari kecil hingga sekarang kita masih
mendapatkan sesuatu dengan cara yang instan, tanpa sediktipun untuk berkorban
atau berusaha, tunggulah kehancuran akan datang kepadamu.
E. Fenomena – Fenomena Bank yang berbasis Syari’ah
Dikala krisis ekonomi yang melanda hamper diseluruh negara,
banyak pakar – pakar ekonomi yang mulai melirik sistem ekonomi islam. Dan
dampaknya pun terlihat dengan banyaknya bermunculan lembaga – lembaga bahkan
bank sekalipun menerapkan yang namanya syari’ah. Semua yang mereka buat
mengatas namakan syari’ah. Entah apa yang ada dibenak mereka, sehingga mereka
membuat suatu usha yang berlabelkan syari’ah. Seharusnya, pemerintah harus bisa
lebih mengontrol lembaga – lemabaga keuangan yang berbasis syariah.Lembaga –
lembaga keuangan diseleksi, mana yang sistem dan bahkan harus sesuai dengan agama
kita. Dan tidak ada unsur ribanya. Agar masyarakat muslim pada umumnya bisa
nyaman apabila sistem dan praktik dari lembaga – lembaga keuangan yang syariah.
Di akhir zaman rasulullah saw telah memperingatkan akan
munculnya orang – orang yang mengelabui sesuatu yang haram dengan mengubah
namanya, sehingga sesuatu yang haram tersebut terlihat halal dan sesuai dengan
agama kita. Abu Malik Al – Asy’ari berkata bahwa beliau mendengar bahwa
rasulullah saw bersabda, “ Sungguh, aka ada orang orang dari umatku yang
meminum khamar, mereka menamakannya dengan selain namanya.” ( HR. Abu Daud
). Hadits ini menunjukan bahwa apa yang di ucapkan Rasulullah saw telah
terjadi. Walaupun Rasulullah mencotohkannya dengan khamar, tapi itu sebagai
contoh saja. Apa bedanya khamar dengan riba. Kedua kata – kata ini sama – sama
haram dan kedua kata – kata ini telah dilarang oleh Allah SWT.
Terkadang, lembaga – lembaga keuangan yang berbasis islam
mereka tidak tahu sistem – sistem dan kaidah dari ekonomi islam. Mereka Cuma
ikut – ikutan demi meraup keuntungan. Dalam praktiknya pun masih sama dengan
lembaga – lembaga keuangan konvensional. Contohnya saja dari sistem nya.
Menurut sistem aturan syariah dlam mudhorobah, keuntungan dibagi
bersama. Kerugian pun harus dibagi bersama. Yakni antara pemilik modal dengan
pelaku usaha. Jadi, hakikat status bagi hasilnya adalah bagi riba. Karena
keuntungan transaksi utang – piutang adalah riba. Para ulama telah membuat
kaidah – kaidah bahwa, “ setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka
itu adalah riba”. Apalagi, dalam satu bank terdapat dua sistem
yaitu bank konvensional dan bank syari’ah. Saya kurang yakin pada praktiknya.
Masalahnya, kedua sistem tersebut bercampur menjadi satu.
Nilailah sesuatu tersebut berdasarkan hakikatnya. Kita
jangan tertipu dengan istilah – istilah yang berlabelkan syaria’h. Belum tentu
istilah syari’ah tersebut bernilai kebenaran. Lebih lagi zaman sekarang,
sekarang kita telah masuk pada zaman kebohongan. Kata – kata yang berbau syirik
dan bid’ah pun bisa diubah menjadi kata – kata yang indah dan menarik. Kita
haus lebih selektif dalam melihat kata – kata yang berbau syari’ah.
F. Konsep Mudhorobah Dalam Perbankan
Syari’ah
Menurut Fuqaha, mudhorobah adalah akad antara dua pihak (
orang ) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak
lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan keuntungannya,
seperti setengah atau sepertiga dengan syarat – syarat yang telah ditentukan
oleh kedua belah pihak. Hukum dari mudhorobah pun berbeda – beda. Kedudukan
harta yang dijadikan modal dalam mudorobah tergantung pada keadaan.
Apabila kita lihat dari segi keuntungan yang diterima oleh
pengelola harta, maka pengelola mengambil upah sebagai bayaran dari tenaga yang
dikeluarkan, maka mudhorobah dianggap sebagai iajarah ( upah –
mengupah atau sewa – menyewa ). ( Hendi Suhendi,2002:2).
Dan salah satu dari produk bank – bank syari’ah adalah
mudhorobah atau kita kenal dengan bagi hasil. Mudhorobah sendiri pu
telah masuk kedalam ranah bisnis dengan sistem bagi hasil antara pemilik modal
dan pengguna dana. Kedua belah pihak kemudian menentukan nisbah ( bagi
hasil ). Maksudnya adalah pemilik modl meminjamkan dananya kepada peminjam
dana, untuk membuat suatu usaha. Kemudian hasil dari keuntungan yang diperoleh
dari peminjam dana harus dibagi hasil dengan pemilik modal tadi.
Bagaimana jika usaha yang dijalankan oleh peminjam dana
mengalami kerugian ? Apabila usaha tersebut mengalami kerugian yang tidak
sampai nol, maka kerugian ditanggung pihak bank. Tetapi apabila kerugian
mencapai nol atau sampai minus, maka kerugian ditanggung bersama.Konsep ini
diterapkan oleh bank Muamalat.
Akan tetapi, dalam perbankan syari’ah yang lain, setiap
kerugian di tanggung bersama antara pemilik modal dan peminjam modal.
Nilailah suatu istilah berdasarkan hakikatnya. Jangan
terlalu menerima tentang sesuatu yang baru. Terkadang sesuatu yang menarik dan
indah bisa dibuat – buat. Ingat, zaman sekarng penuh dengan kebohongan. Semua
cara bisa dilakukan aslalkan mendapatkan keuntungan. Sesuatu yang haram pun
bisa dibuat dengan nama yang menraik dan indah.
Dan dalam praktiknya pun bank syari’ah masih menggunkan
riba. Sistem yang bagi hasil yang mereka terapkan tidak sesuai dengan
kenyataan. Siapa sih yang mau rugi, setiap orang pun selalu menghendaki
keuntungan.
Referensi:
Fuad,F., dkk ( 2012). Pengusaha
Muslim: masih adakah riba di bank syari’ah.
Yogyakarta: Yayasan Bina Pengusaha
Muslim
Suhendi,H. ( 2002). Fiqih
Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persad