iklan

Senin, 22 September 2014

Proses pemeriksaan perkara perdata (gugatan)



Proses pemeriksaan perkara perdata (gugatan)

Perkara perdata ada 2 yaitu perkara gugatan contohnya perkara gugatan sengketa tanah dan perkara permohonan contohnya permohonan polygami. Dalam hal proses pemeriksaan perkara gugatan timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak ke pengadilan.
Adapun proses pemeriksaan perkara gugatan (dalam praktek) biasanya sebagai berikut :
  1. Diawali karena adanya gugatan masuk ke pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu di bagian panitera perdata yaitu mulai dari membayar panjar biaya perkara, penetapan nomor register perkara, disampaikan ke Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan menetapkan Majelis Hakim, selanjutnya Majelis Hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan melalui panitera agar pihak penggugat dan tergugat dipanggil sesuai dengan hari sidang yang telah ditetapkan.
  2. Pada persidangan pertama jika  Penggugat atau wakilnya tidak pernah hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan putusan gugatan gugur. Sebaliknya jika Tergugat tidak hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan putusan Verstek. Namun demikian jika Penggugat dan Tergugat hadir, maka majelis hakim akan menanyakan dahulu apakah gugatannya ada perubahan, jika ada diberika kesempatan untuk merubah dan dicata panitera pengganti. Jika tidak ada perubahan majelis Hakim akan  melakukan mediasi untuk berdamai paling lama 40 hari.
  3. Jika selama 40 hari tersebut mediasi ataud amai tidak tercapai, maka persidangan selanjutnya adalah pembacaan gugatan oleh Penggugat. Dalam prakteknya pembacaan gugatan selalu tidak dilakukan yang terjadi adalah gugatan dianggap dibacakan sepanjang antara Penggugat dan Tergugat sepakat. Hal ini untuk menghemat waktu. karena pada dasarnya gugatan tersebut sudah dibaca oleh Tergugat ketika gugatan disampaikan pengadilan (juru sita) minimal 3 hari  sebelum persidangan pertama dimulai.
  4. Setelah pembacaan gugatan selesai atau dianggap  dibacakan, Majelis Hakim menanyakan kepada Tergugat apakah ada tanggapan baik lisan maupun tertulis. Apabila lisan majelis hakim pada persidangan tersebut akan mencatat  dan apabila tertulis biasanya diberi kesempatan 1 minggu untuk menanggapinya yang disebut dengan Jawaban Tergugat atas Gugatan Penggugat. Dalam jawaban tergugat ini tergugat dapat melakukan bantahan, mengakui dan tidak membantah dan tidak mengakui (referte) serta mengajukan eksepsi (formil dan materil) dan rekonvensi (gugatan balik).
  5. Pada persidangan selanjutnya adalah menyerahkan Jawaban Tergugat. Dalam prakteknya jawaban tergugat tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Penggugat secara tertulis untuk menanggapi Jawaban Tergugat  yang disebut dengan Replik Penggugat (Tanggapan terhadap Jawaban Tergugat). Replik Penggugat isinya sebenarnya harus mempertahankan dalil-dalil isi gugatan adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam  jawaban tergugat adalah salah. Replik juga bisa lisan tentunya jika lisan jawaban harus dibacakan agar Penggugat tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
  6. Pada persidangan berikutnya adalah menyerahkan Replik Penggugat Dalam prakteknya Replik Penggugat juga  tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Tergugat secara tertulis untuk menanggapi Replik Penggugat   yang disebut dengan Duplik Tergugat  (Tanggapan terhadap Replik Penggugat). Duplik Tergugat isinya sebenarnya harus mempertahankan dalil-dalil jawaban Tergugat  adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam  Replik Penggugat  adalah salah. Duplik  juga bisa lisan tentunya jika lisan Replik harus dibacakan agar Tergugat  tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
  7. Pada persidangan berikutnya, adalah menyerahkan Duplik Tergugat yaitu tanggapan terhadap Replik Penggugat. Setelah Duplik, majelis hakim akan melanjutkannya penyerahan alat-alat bukti tertulis Penggugat. Kemudian Tergugat diminta juga menyerahkan alat-alat bukti tertulis kepada majelis hakim.
  8. Setelah penyerahan alat bukti tertulis selesai, jika penggugat merasa perlu menghadirkan saksi-saksi untuk mendukung alat bukti tertulisnya, maka majelis hakim memberikan kesempatan dan dilakukan pemeriksaan saksi untuk diminta keterangannya sesuai perkara. Setelah itu baru diberi kesempatan juga pada Tergugat untuk menghadirkan saksi untuk dimintai keterangannya.
  9. Setelah pemeriksaan alat bukti selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan setempat (PS) yaitu Majelis Hakim akan datang ke lokasi objek sengketa (tanah) untuk melihat fakta apakah antara isi gugatan dengan fakta dilapangan mempunyai kesesuaian.
  10. Apabila pemeriksaan setempat selesai, dilanjutnya dengan kesimpulan oleh penggugat maupun tergugat.
  11. Terakhir adalah putusan hakim (vonis). Jika eksepsi diterima putusannya adalah gugatan tidak dapat diterima (NO), jika gugatan dapat dibuktikan oleh penggugat putusan hakim adalah mengabulkan baik seleuruh maupun sebagian serta jika gugatan tidak dapat dibuktikan oleh Penggugat, putusan hakim adalah menolak gugatan. (CATATAN : SEBELUM VONIS HAKIM DIJATUHKAN, PERDAMAIAN MASIH DAPAT DILAKUKAN, BAHKAN PERDAMAIAN TERSEBUT HARUS SELALU DITAWARKAN HAKIM PADA SETIAP TAHAP PERSIDANGAN).
Terhadap putusan hakim, jika para pihak merasa keberatan dapat melakukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi. Pernyataan banding tersebut dapat dilakukan pada saat putusan dijatuhkan atau pikir-pikir setelah 14 hari sejak putusan dijatuhkan.
Share:

Rabu, 10 September 2014

Riba di Perbankan Syariah



A.                Pengertian Riba
Dalam dunia saat ini, sepertinya hidup kita tidak akan terlepas dari yang namanya ekonomi konvensional. Walaupun Negara kita mayoritas muslim, sistem ekonomi kita masih menggunakan sistem ekonomi konvensional yang identik dengan riba. Hal ini pun tidak bisa kita hindari dalam hidup kita. Hidup dalam sistem ekonomi yang bersistem riba.Untuk itu, kita sebagai umat muslim selayaknya sadar akan sistem tersebut. Memang, merubah sistem ekonomi di dalam diri kita sedikit susah.Tetapi apabila kita bersungguh – sungguh untuk menciptakan sistem ekonomi yang berbasis syari’ah. Butuh keberanian, kekuatan, dan kecerdikan dalam merubah sistem ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi syari’ah.

Pengertian riba itu sendiri menurut bahasa yaitu membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain. Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Abduh berpandapat bahwa yang dimaksud riba adalah penambahan – penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya ( uangnya ), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjaman dari waktu yang ditentukan. Sangan banyak kerugian yang disebabkan dengan adanya riba. Riba membuat orang malas untuk berusaha. Karena apabila riba sudah mendarah daging kepada seseorang tersebut, ia akan memilih usaha ternak uang. Karena ternak uang tidak memiliki usaha yang begitu keras untuk menjadi kaya. Misalnya saja apabila dia memiliki uang Rp 1.000.000, ia akan memilih uangnya untuk disimpan di bank dari pada di investasikan untuk membuat usaha. Karena dengan disimpan di bank, ia akan menerima bunga 2% dalam setiap bulannya. Dalam hal ini, islam mengharamkan dalam perbuatannya. Karena ia membuat dirinya bermalas – malasan dan tidak mau berusaha.

B.  Harapan Masyarakat Kepada Bank – Bank Syari’ah
Dalam sebagian orang bank sudah merupakan hal yang dianggap penting dalam diri mereka karena bank tempat menyimpan harta yang aman, mempertemukan pemodal, dan membantu pelancaran transakasi keuangan dan urusan bisnis. Hampir tidak ada orang yang memanfaatkan peranan dari bank. Akan tetapi, banyaknya peranan yang dimiliki bank tersebut, ternyata perbankan juga mendatangkan setupuk masalah. Mulai dari krisis ekonomi yang masih melanda hamper di seluruh negri, status kehalalan berbagai transaksi dan ketidak adilan dari sistem ekonomi tersebut. Untuk itu, derasnya desakan dari masyarakat, berbagai pakar – pakar ekonomi berupaya menjawab harapan masyarakat yang mana masalah dari peranan perbankan tersebut bisa diatasi. Dan harapan itu pun dijawab oleh pakar – pakar ekonomi dengan banyaknya bermunculan bank – bank yang berbasis syari’at atau yang berlandaskan agama. Dan kehadiran perbankan yang benar – benar ,penerapkan kaidah syari’at islam sangat dinantikan masyarakat muslim pada umumnya. Karena sudah lama masyarakat muslim terjebak dalam belenggu ekonomi konvensional yang berbasis ribawi.Dan langkah – langkah awal pun mulai diterapkan dalam perbankan islam. Akan tetapi, perjalanan sangat panjang dalam menguasai ekonimi islam yang mendunia, suksesnya perbankan islam pun untuk menguasai ekonomi dunia juga dibutuhkan partisipasi masyarakat muslim pada umunya. Tanpa peran masyarakat, perbankan islam tidak akan tumbuh berkembang menjadi ekonomi yang mendunia, ekonomi islam mungkin hanyalah angin saja apabila kita tidak mendukung penuh dalam kegiatan ekonomi islam.
Kehadiran perbankan syaria’h yang benar – benar menerapkan kaidah – kaidah islam menjadi harapan atau tumpuan baru bagi kelangsungan hidup umat islam. Mulai dari pemodal yang mendapatkan perlindungan maksimal atas modalnya, pelaku – pelaku usaha mendapatkan layanan yang professional dan adil, kedua belah pihak mendapatkan keuntungan yang sama dan menjalankan tanggung jawab yang sebanding. Tentunya bank – bank islam tidak hanya berlabelkan islam,tetapi mampu menjawab tuntutan masyarakat muslim akan ekonomi yang sesuai dengan agama.

C.     Masih Adakah Riba Dalam Perbankan Syari’ah
Dalam hal ini. Apakah bank – bank islam sudah sesuai mempraktikan sesuai dengan syariat agama islam. Apakah hanya label nya saja yang islam, tetapi dibalik semua itu mereka masih menggunakan ekonomi riba. Secara praktik, antara bank konvemsional dan bank syariah sama saja. Kalau di bank konvensional kita mengenal bunga, di bank syariah juga kita mengenal yang namanya bunga, tetapi bukan bunga namanya melainkan margin. Sistem antara bank konvensional sama saja dengan bank syariah hanya saja namanya saja yang mereka buat. Dan dari istilah – istilah perbankan srariah sama saja dengan konvensioanal. Untuk itu, nilailah sesuatu itu pada hakikatnya bukan pada istilah nya. Walaupun nama istilah tersebut sudah syar’i, tapi belum tebtu hakikatnya syar’i. Karena tidak semua nama yang menunjukkan syar’i itu mengandung kebenaran.
D.    Sebab – Sebab Terjadinya Riba
Riba sendiri terjadi karena ada sebab – sebabnya. Sebab – sebab terjadinya riba antara lain :
1)      Karena Allah dan rasulnya melarang atau mengharamkan riba. Firman Allah SWT yang artinya :

275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
2) Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangnya, seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp 10000,- dengan uang recehan senilai Rp 9950,- maka uang senilai Rp 50,- tidak ada imbangnya, maka uang senilai Rp 50,- adalah riba.
3) dengan melakukan riba seseorang tersebut akan menjadi malas berusaha. Bila riba sudah mendarah daging bagi oarng tersebut, maka orang tersebut lebih suka berternak uang.
4) Riba menyebabkan putusnya perbuatan berbuat baik terhadap sesama manusia dengan cara uang piutang atau menghilangkan faidah utang piutang, maka riba lebih cenderung memeras orang miskin dari pada menolong orang miskin. ( Hendi Suhendi, 2002:2)

Banyak sekali didalam Al –Qur’an dan hadits nabi yang menerangkan tentang riba dan ancaman dalam memakan riba. Dengan demikian, tergantung kita nya. Sangat sulit untuk kita, apabila menghindar dari yang namanya riba. Apalagi kita masih berhubungan dengan perbankan. Perbankan syari’ah pun dalam praktiknya masih menggunakan yang namanya riba. Sekarang tergantung kitanya, kita menggunakan bank seperti apa. Jika kita niat mengggunakan bank untuk tidak membungakan uang, maka InsyAllah kita akan terhindar dalam yang namanya riba. Sekecil apapun uang yang kita peroleh dari hasil riba, maka itu dilarang dengan syari’at agama kita. Seperti contoh yang kita lihat nomor 2, jika uang yang kita tukarkan dengan tidak seimbang, walaupun nominal angkanya kecil, itu sudah dianggap riba. Tetapi, apabila orang yang kita tukarkan uangnya, ikhlas untuk menerima kekurangan uang kita, maka itu tidak dianggap riba. Karena pihak yang ditukar ikhlas. Tetapi, jika orangnya tidak ikhlas, maka kita telah menerima uang hasil riba.
Dan terkadang, riba pun dimanfaatkan dengan sebagian orang untuk berternak uang. Mereka yang bereternak uang, karena mereka sangat malas untuk bekerja atau berusaha. Hal ini dikarenakan karena kemalasan sudah mendarah daging di tubuhnya. Mungkin dari kecil dia sudah di didik dengan semua yang serba instan. Apabila mulai dari kecil hingga sekarang kita masih mendapatkan sesuatu dengan cara yang instan, tanpa sediktipun untuk berkorban atau berusaha, tunggulah kehancuran akan datang kepadamu.

E.     Fenomena – Fenomena Bank yang berbasis Syari’ah
Dikala krisis ekonomi yang melanda hamper diseluruh negara, banyak pakar – pakar ekonomi yang mulai melirik sistem ekonomi islam. Dan dampaknya pun terlihat dengan banyaknya bermunculan lembaga – lembaga bahkan bank sekalipun menerapkan yang namanya syari’ah. Semua yang mereka buat mengatas namakan syari’ah. Entah apa yang ada dibenak mereka, sehingga mereka membuat suatu usha yang berlabelkan syari’ah. Seharusnya, pemerintah harus bisa lebih mengontrol lembaga – lemabaga keuangan yang berbasis syariah.Lembaga – lembaga keuangan diseleksi, mana yang sistem dan bahkan harus sesuai dengan agama kita. Dan tidak ada unsur ribanya. Agar masyarakat muslim pada umumnya bisa nyaman apabila sistem dan praktik dari lembaga – lembaga keuangan yang syariah.
Di akhir zaman rasulullah saw telah memperingatkan akan munculnya orang – orang yang mengelabui sesuatu yang haram dengan mengubah namanya, sehingga sesuatu yang haram tersebut terlihat halal dan sesuai dengan agama kita. Abu Malik Al – Asy’ari berkata bahwa beliau mendengar bahwa rasulullah saw bersabda, “ Sungguh, aka ada orang orang dari umatku yang meminum khamar, mereka menamakannya dengan selain namanya.” ( HR. Abu Daud ). Hadits ini menunjukan bahwa apa yang di ucapkan Rasulullah saw telah terjadi. Walaupun Rasulullah mencotohkannya dengan khamar, tapi itu sebagai contoh saja. Apa bedanya khamar dengan riba. Kedua kata – kata ini sama – sama haram dan kedua kata – kata ini telah dilarang oleh Allah SWT.
Terkadang, lembaga – lembaga keuangan yang berbasis islam mereka tidak tahu sistem – sistem dan kaidah dari ekonomi islam. Mereka Cuma ikut – ikutan demi meraup keuntungan. Dalam praktiknya pun masih sama dengan lembaga – lembaga keuangan konvensional. Contohnya saja dari sistem nya. Menurut sistem aturan syariah dlam mudhorobah, keuntungan dibagi bersama. Kerugian pun harus dibagi bersama. Yakni antara pemilik modal dengan pelaku usaha. Jadi, hakikat status bagi hasilnya adalah bagi riba. Karena keuntungan transaksi utang – piutang adalah riba. Para ulama telah membuat kaidah – kaidah bahwa, “ setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba”. Apalagi, dalam satu bank terdapat dua sistem yaitu bank konvensional dan bank syari’ah. Saya kurang yakin pada praktiknya. Masalahnya, kedua sistem tersebut bercampur menjadi satu.
Nilailah sesuatu tersebut berdasarkan hakikatnya. Kita jangan tertipu dengan istilah – istilah yang berlabelkan syaria’h. Belum tentu istilah syari’ah tersebut bernilai kebenaran. Lebih lagi zaman sekarang, sekarang kita telah masuk pada zaman kebohongan. Kata – kata yang berbau syirik dan bid’ah pun bisa diubah menjadi kata – kata yang indah dan menarik. Kita haus lebih selektif dalam melihat kata – kata yang berbau syari’ah.

F.      Konsep Mudhorobah Dalam Perbankan Syari’ah
Menurut Fuqaha, mudhorobah adalah akad antara dua pihak ( orang ) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan keuntungannya, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat – syarat yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak. Hukum dari mudhorobah pun berbeda – beda. Kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudorobah tergantung pada keadaan.
Apabila kita lihat dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta, maka pengelola mengambil upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, maka mudhorobah dianggap sebagai iajarah ( upah – mengupah atau sewa – menyewa ). ( Hendi Suhendi,2002:2).
Dan salah satu dari produk bank – bank syari’ah adalah mudhorobah atau kita kenal dengan bagi hasil. Mudhorobah sendiri pu telah masuk kedalam ranah bisnis dengan sistem bagi hasil antara pemilik modal dan pengguna dana. Kedua belah pihak kemudian menentukan nisbah ( bagi hasil ). Maksudnya adalah pemilik modl meminjamkan dananya kepada peminjam dana, untuk membuat suatu usaha. Kemudian hasil dari keuntungan yang diperoleh dari peminjam dana harus dibagi hasil dengan pemilik modal tadi.
Bagaimana jika usaha yang dijalankan oleh peminjam dana mengalami kerugian ? Apabila usaha tersebut mengalami kerugian yang tidak sampai nol, maka kerugian ditanggung pihak bank. Tetapi apabila kerugian mencapai nol atau sampai minus, maka kerugian ditanggung bersama.Konsep ini diterapkan oleh bank Muamalat.
Akan tetapi, dalam perbankan syari’ah yang lain, setiap kerugian di tanggung bersama antara pemilik modal dan peminjam modal.
Nilailah suatu istilah berdasarkan hakikatnya. Jangan terlalu menerima tentang sesuatu yang baru. Terkadang sesuatu yang menarik dan indah bisa dibuat – buat. Ingat, zaman sekarng penuh dengan kebohongan. Semua cara bisa dilakukan aslalkan mendapatkan keuntungan. Sesuatu yang haram pun bisa dibuat dengan nama yang menraik dan indah.
Dan dalam praktiknya pun bank syari’ah masih menggunkan riba. Sistem yang bagi hasil yang mereka terapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Siapa sih yang mau rugi, setiap orang pun selalu menghendaki keuntungan.

Referensi:
Fuad,F., dkk ( 2012). Pengusaha Muslim: masih adakah riba di bank syari’ah.
Yogyakarta: Yayasan Bina Pengusaha Muslim
Suhendi,H. ( 2002). Fiqih Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persad
Share:
Copyright © ILMU HUKUM | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com|Distributed By Blogger Templates20